Tuesday, March 14, 2006

Obstacles and Challenges in Implementing Good Governance through E-government (2006) Indonesian Version

Hambatan dan Tantangan dalam Mewujudkan Good Governance melalui Penerapan E-Government di Indonesia

by Teguh Kurniawan
Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI,Kampus FISIP UI Gd B Lt 2 Depok 16424, email teguh1@ui.edu

Abstrak
Keberadaan e-government dalam konteks Indonesia sangat diperlukan karena sejumlah pertimbangan terkait adanya tuntutan akan terbentuknya kepemerintahan yang bersih, transparan, dan mampu menjawab tuntutan perubahan secara lebih efektif. Kemajuan teknologi informasi melalui internet telah membuka kesempatan yang semakin luas kepada masyarakat untuk dapat terlibat secara langsung dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan kebijakan publik. Namun dmeikian, penerapan e-government di Indonesia selama ini bisa dikatakan masih cukup tertinggal dibandingkan sejumlah negara lain. Hal ini ditandai dengan mayoritas situs pemerintah yang berada dalam tahapan web presence sementara sebagian kecil lainnya mulai memasuki fase interaksi dan belum satupun lembaga yang menerapkan e-government sampai tahap transaksi dan transformasi. Makalah ini berusaha mengidentifikasi sejumlah hal yang ditengarai sebagai penyebab minimnya adopsi dan kapasitas penerapan e-government dalam mewujudkan good governance di Indonesia.
Kata kunci: good governance, e-government

1. Pendahuluan
Internet dan semua bentuk komunikasi digital lainnya telah menjadi instrumen yang penting dalam semua sektor. Demikian juga di sektor pelayanan publik dan politik, media elektronik ini telah menjadi instrumen yang penting dalam komunikasi data internal dan eksternal. Penggunaan jaringan internet telah mempercepat proses komunikasi, kontak antara instansi pemerintah dengan masyarakat semakin dekat dan langsung, waktu tunggu untuk memperoleh informasi semakin singkat, dan aliran data dari satu unit instansi pemerintah ke unit organisasi lain (baik privat maupun publik) juga mengalami peningkatan yang luar biasa.

Perkembangan tehnologi internet tidak saja telah meningkatkan efisiensi, efektivitas dan percepatan pelayanan publik, tetapi juga telah memungkinkan debat-debat yang bersifat publik yang bertujuan untuk mendiskusikan, mengkritisi, dan menganalisis keputusan politik dan tindakan administrasi publik. Kemajuan tehnlologi komunikasi dan informasi melalui internet telah membuka kesempatan yang semakin luas hubungan antara politik, birokrasi dan masyarakat. Jika penggunaan internet ini dilakukan dengan baik dan sempurna, maka proses politik akan semakin partisipatif dan demokratis. Masyarakat dapat terlibat secara langsung dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan kebijakan publik.

Merujuk kepada latar belakang di atas, makalah ini bertujuan untuk:
1. Mengidentifikasi dan mengklasifikasi karakteristik dan ciri-ciri dari good governance serta macam penerapan e-government dalam sektor publik;
2. Mengidentifikasi sejumlah hal yang ditengarai sebagai penyebab minimnya adopsi dan kapasitas penerapan e-government dalam mewujudkan good governance di Indonesia.

2. Governance vs Government dan Good Governance
Pada dasarnya governance, government dan good governance merupakan terminologi yang berbeda satu sama lain, meskipun ketiganya saling berhubungan. Untuk memahami ketiga terminologi tersebut, uraian berikut diharapkan dapat membantu.

(1) Governance vs Government
Dalam memahami perbedaan antara governance dan government, Schwab dan Kubler (2001) melihatnya dari 5 (lima) fitur dimensi berdasarkan pengamatan mereka terhadap interaksi pada sebuah kontinuum pengaturan kebijakan antara governance dan government sebagai berikut:
• Dimensi aktor;
• Dimensi fungsi;
• Dimensi struktur;
• Dimensi konvensi interaksi;
• Dimensi distribusi kekuasaan.

Dilihat dari dimensi aktor, governance dicirikan dengan banyaknya jumlah peserta baik yang berasal dari sektor publik maupun privat yang terlibat dalam pengaturan sebuah kebijakan. Sementara itu, government dicirikan dengan sangat sedikit dan terbatasnya jumlah peserta dalam proses pengaturan kebijakan tersebut, aktor yang terlibat pun biasanya merupakan badan-badan (lembaga) pemerintahan.

Dari dimensi fungsi, governance dicirikan melalui banyaknya konsultasi yang dilakukan dalam pengaturan kebijakan. Hal ini memungkinkan bagi adanya kerjasama dalam pembuatan kebijakan antara aktor-aktor yang terlibat sehingga issue-isue kebijakan yang dihasilkan menjadi lebih sempit. Hal ini berbeda dengan government yang dicirikan dengan sedikitnya konsultasi, tidak adanya kerjasama antar aktor dalam pembuatan kebijakan yang menyebabkan luasnya issue kebijakan yang dihasilkan.

Berdasarkan dimensi struktur, governance dicirikan dengan adanya batas-batas yang didefinisikan secara fungsional dan sangat terbuka selain keanggotaan dari struktur yang bersifat sukarela. Batas-batas yang didefinisikan secara fungsional disini berarti pertimbangan pengaturan kebijakan didasarkan atas kebutuhan fungsional. Hal ini tidak seperti government yang mendefinisikan batas-batas berdasarkan kewilayahan dan bersifat tertutup selain tentu saja keanggotaannya yang tidak sukarela, artinya untuk dapat masuk sebagai struktur harus merupakan anggota dari organisasi sektor publik.

Dari dimensi konvensi interaksi, governance dicirikan dengan konsultasi yang sifatnya horisontal dengan pola hubungan yang bersifat kooperatif sehingga lebih banyak keterbukaan. Sementara itu government dicirikan dengan adanya hirarkhi kewenangan sehingga pola hubungan yang terjadi lebih banyak bersifat konflik dan dipenuhi dengan banyak kerahasiaan.

Berdasarkan dimensi distribusi kekuasaan, governance dicirikan dengan rendahnya dominasi negara, dipertimbangkannya kepentingan masyarakat dalam pengaturan kebijakan serta adanya keseimbangan atau simbiosis antar aktor. Sementara itu government dicirikan dengan adanya dominasi negara yang dalam banyak hal tidak terlalu memperhatikan kepentingan masyarakat serta tidak adanya keseimbangan antar aktor yang terlibat.

(2) Good Governance
Pengertian dari good governance dapat dilihat dari pemahaman yang dimiliki baik oleh IMF maupun World Bank yang melihat Good Governance sebagai sebuah cara untuk memperkuat “kerangka kerja institusional dari pemerintah”. Hal ini menurut mereka berarti bagaimana memperkuat aturan hukum dan prediktibilitas serta imparsialitas dari penegakannya. Ini juga berarti mencabut akar dari korupsi dan aktivitas-aktivitas rent seeking, yang dapat dilakukan melalui transparansi dan aliran informasi serta menjamin bahwa informasi mengenai kebijakan dan kinerja dari institusi pemerintah dikumpulkan dan diberikan kepada masyarakat secara memadai sehingga masyarakat dapat memonitor dan mengawasi manajemen dari dana yang berasal dari masyarakat.

Berdasarkan pengertian di atas, good governance memiliki sejumlah ciri sebagai berikut:
• Akuntabel, artinya pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus disertai pertanggungjawabannya;
• Transparan, artinya harus tersedia informasi yang memadai kepada masyarakat terhadap proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan;
• Responsif, artinya dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus mampu melayani semua stakeholder;
• Setara dan inklusif, artinya seluruh anggota masyarakat tanpa terkecuali harus memperoleh kesempatan dalam proses pembuatan dan pelaksanaan sebuah kebijakan;
• Efektif dan efisien, artinya kebijakan dibuat dan dilaksanakan dengan menggunakan sumberdaya-sumberdaya yang tersedia dengan cara yang terbaik;
• Mengikuti aturan hukum, artinya dalam proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan membutuhkan kerangka hukum yang adil dan ditegakan;
• Partisipatif, artinya pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus membuka ruang bagi keterlibatan banyak aktor;
• Berorientasi pada konsensus (kesepakatan), artinya pembuatan dan pelaksanaan kebijakan harus merupakan hasil kesepakatan bersama diantara para aktor yang terlibat.

3. E-Government dan Penerapannya di Lapangan
Terminologi “E-Government” dapat diartikan sebagai kumpulan konsep untuk semua tindakan dalam sektor publik (baik di tingkat Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah) yang melibatkan tehnologi informasi dan komunikasi dalam rangka mengoptimalisasi proses pelayanan publik yang efisien, transparan dan efektif. Hal ini dimungkinkan, karena secara internal pertukaran informasi antar unit organisasi publik menjadi lebih cepat, mudah dan terintegrasi.

Setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan pentingnya “E-Government” dalam pembangunan masyarakat jaringan (network society):
• Elektronisasi komunikasi antara sektor publik dan masyarakat menawarkan bentuk baru partisipasi dan interaksi keduanya. Waktu yang dibutuhkan menjadi lebih singkat, disamping tingkat kenyamanan pelayanan juga semakin tinggi. Disamping itu, bentuk transaksi baru ini akan menyebabkan tingginya tingkat pemahaman dan penerimaan masyarakat terhadap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah;
• Cyberspace dalam pelayanan publik memungkinkan penghapusan struktur birokrasi dan proses klasik pelayanan yang berbelit-belit. Tujuan realistis yang hendak dicapai melalui cyberspace adalah efisiensi pelayanan dan penghematan finansial. Disamping itu, informasi online dalam pelayanan publik dapat meningkatkan derajat pengetahuan masyarakat mengenai proses dan persyaratan sebuah pelayanan publik;
• E-government menyajikan juga informasi-informasi lokal setempat. Penggunaan internet dalam sektor publik akan memungkinkan kemampuan kompetisi masyarakat lokal dengan perkembangan internasional dan global.

4. Hambatan dan Tantangan Mewujudkan Good Governance melalui E-Government
Hambatan penerapan e-government dapat lihat misalnya dari hasil pengamatan yang dilakukan Kementerian Komunikasi yang menyimpulkan bahwa mayoritas situs pemerintah Pusat dan pemerintah Daerah masih berada pada tingkat persiapan (pertama) apabila ditinjau dari sejumlah aspek:
• E-Leadership: prioritas dan inisiatif negara di dalam mengantisipasi dan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi;
• Infrastruktur Jaringan Informasi: kondisi infrastruktur telekomunikasi serta akses, kualitas, lingkup, dan biaya jasa akses;
• Pengelolaan Informasi: kualitas dan keamanan pengelolaan informasi;
• Lingkungan Bisnis: kondisi pasar, sistem perdagangan, dan regulasi yang membentuk konteks perkembangan bisnis teknologi informasi;
• Masyarakat dan Sumber Daya Manusia: difusi teknologi informasi didalam kegiatan masyarakat baik perorangan maupun organisasi, serta sejauh mana teknologi informasi disosialisasikan kepada masyarakat melalui proses pendidikan.

Terdapat sejumlah kelemahan pembentukan e-government di Indonesia:
• Pelayanan yang diberikan situs pemerintah belum ditunjang oleh sistem manajeman dan proses kerja yang efektif karena kesiapan peraturan, prosedur dan keterbatasan SDM sangat membatasi penetrasi komputerisasi ke dalam sistem pemerintah;
• Belum mapannya strategi serta tidak memadainya anggaran yang dialokasikan untuk pengembangan e-government;
• Inisiatif merupakan upaya instansi secara sendiri-sendiri; dengan demikian sejumlah faktor seperti standardisasi, keamanan informasi, otentikasi, dan berbagai aplikasi dasar yang memungkinkan interoperabilitas antar situs secara andal, aman, dan terpercaya kurang mendapatkan perhatian
• Kesenjangan kemampuan masyarakat untuk mengakses jaringan internet.

Dengan melihat kepada kondisi di atas, maka tantangan yang muncul kemudian adalah bagaimana meningkatkan penerapan e-government di masa datang menjadi lebih memadai sehingga tidak memungkinkan lagi adanya tahapan pelayanan yang memerlukan pertemuan tatap muka antara masyarakat dengan penyedia pelayanan publik. Ketiadaan tatap muka dapat meminimalisir dan meniadakan aktivitas-aktivitas rent seeking.

5. Kesimpulan
Sebagai penutup dari makalah ini dapat disimpulkan bahwa jalan bagi penerapan good governance di Indonesia yang memadai melalui e-government masih cukup panjang. Hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi hal ini adalah melalui pengembangan lebih lanjut dari e-government pada tahapan paling tinggi yang memungkinkan selain melalui pendidikan dan pemerataan akses masyarakat terhadap internet.

6. Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Eko Prasojo atas kerjasamanya dalam melakukan penelitian bersama yang sebagian datanya digunakan dalam makalah ini.

7. Daftar Pustaka
1. E. Prasojo dan T. Kurniawan, Hambatan dalam Penerapan E-Government di Indonesia, Laporan Penelitian, DIA FISIP UI, Desember 2004
2. B. Schwab and D. Kubler, Metropolitan Governance and the “democratic deficit”: Theoretical Issues and Empirical Findings, Paper in Conference Area-based initiatives in contemporary urban policy, Copenhagen, May 2001
3. N. Woods, The Challenge of Good Governance for the IMF and the World Bank Themselves, on World Development, Vol. 28, No. 5, Pergamon, 2000
4. B. N. Hague and B. D. Loader, Digital Democracy: Discourse and Decision Making in the Information Age, Routledge, 1999
5. D. Holmes, E.gov: E-business Strategies for Government, Nicholas Brealey, 2001

Makalah ini dipresentasikan dalam Konferensi nasional Sistem Informasi (KNSI) 2006, Jurusan Teknologi Informasi Universitas Pasundan dan Departemen Teknologi Informasi Institut Teknologi Bandung, Bandung, 18 Februari 2006, dipublikasikan dalam Buku Prosiding Konferensi Nasional Sistem Informasi 2006, Bandung: Penerbit Informatika, ISBN 979-3338-71-7

0 Comments:

Post a Comment

<< Home