Tuesday, March 14, 2006

Improvement of Public Services in the Era of Local Autonomy (2006) Indonesian version

PERBAIKAN PELAYANAN PUBLIK DI ERA OTONOMI DAERAH:
ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN

Oleh: Teguh Kurniawan*

PENDAHULUAN
Secara teori, pelaksanaan asas desentralisasi melalui pemberian otonomi kepada daerah dapat membuat penyediaan pelayanan publik menjadi lebih efisien dan efektif. Hal ini menurut Rondinelli (1989) dapat terjadi karena sejumlah hal, yakni (1) melalui otonomi terjadi optimalisasi hirarkhi dalam penyampaian layanan akibat dari penyediaan pelayanan publik dilakukan oleh institusi yang memiliki kedudukan lebih dekat dengan masyarakat sehingga keputusan-keputusan strategis dapat lebih mudah dibuat; (2) adanya penyesuaian layanan terhadap kebutuhan dan kondisi yang ada di tingkat lokal; (3) adanya peningkatan perawatan terhadap infrastruktur yang ada melalui alokasi anggaran yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang ada di wilayahnya; (4) adanya pengalihan fungsi-fungsi rutin dari Pusat kepada Daerah sehingga Pusat dapat lebih berkonsentrasi pada fungsi-fungsi kebijakan; (5) adanya peningkatan kompetisi dalam penyediaan layanan diantara unit-unit pemerintah dan antara sektor publik dan sektor swasta atas arahan Pemerintah Daerah; serta (6) dapat membuat birokrasi menjadi lebih berorientasi kepada masyarakat.

Namun demikian, kondisi ideal tersebut tampaknya cukup sulit untuk diwujudkan di Indonesia karena sejumlah alasan. Tulisan pendek ini berusaha untuk memberikan gambaran nyata mengenai kesulitan dan permasalahan yang dihadapi di lapangan dalam penyediaan pelayanan publik di era otonomi serta prospek untuk melakukan perbaikan terhadap kondisi pelayanan publik yang ada sekarang.

GAMBARAN UMUM PELAYANAN PUBLIK DI ERA OTONOMI DAERAH
Gambaran umum dari kondisi pelayanan publik di era Otonomi Daerah ini setidaknya dapat dilihat dari hasil kajian yang dilakukan oleh sejumlah lembaga seperti PSKK UGM (2001 dan 2003), SMERU (2002), The Asia Foundation (2004), dan PKPADK FISIP UI (2004). Temuan terkini dari kondisi pelayanan publik tersebut juga dapat dilihat dari hasil kajian melalui survei terhadap kualitas pelayanan publik di sejumlah daerah yang dilakukan oleh YAPPIKA baru-baru ini (2005) dimana penulis juga turut serta membantu dalam sebagian kecil pelaksanaan kajian tersebut.

Dari sejumlah hasil kajian yang dilakukan oleh lembaga-lembaga sebagaimana disebutkan di atas, diperoleh gambaran mengenai kondisi pelayanan publik pada sejumlah sektor (dalam tulisan ini difokuskan pada sektor pendidikan dan kesehatan) yang intinya adalah sebagai berikut:
1. Pelayanan publik yang disediakan pada umumnya terbatas, ditandai misalnya dengan jumlah dan kualitas guru/tenaga medis serta fasilitas dan sarana pendidikan/kesehatan yang tidak memadai dan tidak merata.
2. Keterbatasan tersebut umumnya disebabkan oleh keterbatasan sumber daya manusia yang tersedia serta alokasi anggaran yang kurang memadai dalam APBD masing-masing.
3. Masih belum berubahnya sikap dan paradigma dari aparat pemerintah dalam pemberian pelayanan, belum lagi para aparat pemerintah tersebut masih sangat rules driven dan mendasarkan diri pada petunjuk atasan dalam pemberian layanan tersebut dan tidak mendasarkannya pada kepuasan masyarakat.
4. Belum optimalnya partisipasi dari masyarakat dalam proses pemberian layanan, meskipun sudah terdapat sejumlah perangkat yang dapat mendukung upaya tersebut seperti keberadaan dari komite sekolah dan komite kesehatan.

Dari gambaran di atas dapat terlihat bahwa sejauh ini Otonomi Daerah masih belum mampu meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat di banyak Daerah di Indonesia. Sejatinya melalui Otonomi Daerah dapat meningkatkan kualitas dari penyediaan pelayanan publik kepada masyarakat karena dengan Otonomi Daerah memberikan keleluasaan kepada Daerah untuk dapat melakukan tindakan-tindakan yang inovatif dalam pemberian layanan kepada masyarakat. Daerah tidak perlu lagi mendapatkan persetujuan dari Pusat untuk memulai sebuah program yang inovatif dalam penyediaan pelayanan publik kepada masyarakat. Contoh nyata dari kemungkinan ini dapat kita lihat dari inovasi program yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Jembrana melalui program Bebas Iuran Sekolah (BIS) dan Jaminan Kesehatan Jembrana (JKJ). Dalam memulai dan melaksanakan program BIS dan JKJ yang terbukti dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik ini, Pemerintah Kabupaten Jembrana tidak memerlukan persetujuan dari Pusat atau Propinsi. Hal ini akan sangat berbeda apabila kewenangan dalam bidang pendidikan dan kesehatan masih sepenuhnya dipegang oleh Pusat. Namun demikian, apa yang terjadi di Kabupaten Jembrana tersebut memang sangat ditentukan dari faktor kepemimpinan Daerah yang ada, sehingga untuk dapat diwujudkan di Daerah-Daerah lainnya di Indonesia akan sangat ditentukan salah satunya oleh figur dari pemimpin Daerah masing-masing.

Peningkatan kualitas pelayanan publik di era Otonomi Daerah juga sangat dimungkinkan mengingat keleluasaan yang dimiliki Daerah untuk menyesuaikan layanan yang diberikannya termasuk dengan mengalokasikan sejumlah anggaran tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kondisi yang ada di Daerah. Namun demikian, dari pengalaman yang ada di lapangan didapatkan sebuah kenyataan bahwa anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan dan penyediaan pelayanan publik masih sangat terbatas. Anggaran yang ada lebih banyak dihabiskan untuk kegiatan rutin dibandingkan dengan kegiatan pembangunan. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari struktur organisasi dan sumber daya manusia dari Pemerintah Daerah yang cenderung besar dan tidak efisien. Belum lagi kurangnya komitmen dan kemauan dari pimpinan Daerah dan DPRD untuk mengalokasikan dana yang memadai dalam penyediaan pelayanan publik. Kondisi yang paling sering terjadi adalah pengalokasian sebagian besar dari anggaran yang minim tersebut untuk kepentingan non publik, sehingga yang terjadi kemudian adalah sebagian besar anggaran digunakan untuk kepentingan sebagian kecil dari kelompok-kelompok yang ada di Pemerintahan. Pengalokasian anggaran untuk kepentingan pelayanan publik pun seringkali ditandai dengan praktek KKN, sehingga pengalokasiannya tidak tepat sasaran. Padahal yang seharusnya dilakukan oleh Daerah adalah sebagaimana dicontohkan oleh Pemerintah Kabupaten Jembrana dimana ditengah segala keterbatasan anggaran yang dimilikinya, Pemerintah Kabupaten Jembrana berusaha melakukan tindakan efisiensi penggunaan anggaran di semua sektor dan kemudian mengalihkannya untuk penyediaan pelayanan publik yang lebih baik di bidang pendidikan, kesehatan, perekonomian dan bidang pelayanan publik lainnya. Alih-alih melakukan efisiensi penggunaan anggaran dan mengalokasikannya untuk kepentingan pelayanan publik, maka yang terjadi di banyak daerah lainnya di Indonesia adalah komersialisasi terhadap pelayanan publik dan menjadikan pelayanan publik sebagai target penerimaan PAD. Kondisi ini tentu saja semakin memperburuk kinerja pelayanan publik yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah terhadap masyarakat. Dalam bidang kesehatan misalnya, Rumah Sakit dan Puskesmas diberikan target perolehan PAD, karenanya dalam pemberian layanan mereka cenderung mengutamakan aspek finansial ketimbang aspek kemanusiaan, sehingga yang terjadi kemudian adalah banyak masyarakat yang ditolak untuk dilayani sampai mereka dapat menunjukkan bahwa mereka mampu untuk membayar.

Minimnya kualitas pelayanan publik yang ada di era Otonomi Daerah ini juga ditandai dengan masih sangat terbatasnya kompetisi diantara para penyedia pelayanan publik. Kompetisi dalam penyediaan pelayanan publik akan sangat baik dalam merangsang para penyedia layanan untuk memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat. Penyediaan pelayanan publik di banyak Daerah di Indonesia masih banyak yang dilakukan sepenuhnya oleh Pemerintah Daerah atau yang dikenal sebagai traditional bureaucratic authority. Padahal dalam banyak hal untuk menciptakan kompetisi guna mewujudkan pelayanan publik yang lebih berorientasi kepada masyarakat, model pelayanan yang seperti ini sudah harus dipertimbangkan untuk digantikan dengan model pelayanan publik yang lain seperti market oriented enabling authority dan community oriented enabler. Model market enabling authority memberikan kesempatan kepada pasar dalam pemberian layanan, meskipun didalamnya tetap menempatkan Pemerintah Daerah dalam posisi yang kuat. Apa yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Jembrana dengan memberikan kesempatan kepada praktek dokter dan bidan swasta untuk turut berkompetisi dalam penyediaan pelayanan kesehatan melalui program JKJ dapat dikatakan sebagai salah satu contoh dari penerapan model pelayanan publik ini. Model lainnya yakni community oriented enabler merupakan model pelayanan yang menekankan kepada partisipasi masyarakat yang luas dalam penyediaan layanan publik.

PROSPEK PERBAIKAN PELAYANAN PUBLIK DI MASA DEPAN
Belajar dari pengalaman yang ada di lapangan sebagaimana digambarkan di atas serta dengan mempertimbangkan situasi sosial politik yang ada saat ini, maka terdapat sejumlah hal yang dapat memberikan prospek akan pelayanan publik yang lebih baik di masa depan. Hal ini sangat terkait dengan mekanisme pemilihan Kepala Daerah secara langsung yang sudah mulai dilaksanakan di Indonesia, keberadaan Komisi Ombudsman yang akan lebih diberdayakan, serta keberadaan RUU Pelayanan Publik dan RUU Administrasi Pemerintahan.

Pemilihan Kepala Daerah secara langsung akan memberikan prospek terhadap peningkatan pelayanan publik apabila dalam pemilihan Kepala Daerah secara langsung tersebut dapat menghasilkan figur-figur Kepala Daerah yang memiliki visi dan keberpihakan yang lebih besar kepada masyarakat dan kemajuan Daerahnya. Karenanya, yang menjadi pekerjaan rumah bagi kita adalah bagaimana memastikan bahwa mereka-mereka yang akan maju dalam pemilihan Kepala Daerah dan menjadi pimpinan Daerah adalah orang-orang yang memiliki visi dan keberpihakan kepada masyarakat dan kemajuan Daerah.

Hal lainnya yang dirasakan sangat menggembirakan adalah terkait dengan rencana dari Pemerintah untuk memperkuat keberadaan dan posisi dari Komisi Ombudsman sebagai lembaga pengawas independen dalam proses penyediaan pelayanan publik. Apabila hal ini dapat diwujudkan, maka Komisi Ombudsman akan memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi kepada Pemerintah Daerah yang tidak mau melakukan perbaikan dalam penyediaan pelayanan publiknya. Kondisi yang demikian akan menjadi lebih mendukung lagi apabila negara ini sudah mempunyai UU Pelayanan Publik dan UU Administrasi Pemerintahan yang akan dapat menjamin pelayanan publik yang lebih profesional, transparan, akuntabel dan partisipatif.

PENUTUP
Sebagai penutup dari tulisan ini dapat disimpulkan bahwa upaya peningkatan kualitas pelayanan publik di era Otonomi Daerah saat ini akan sangat ditentukan dari adanya visi dan keberpihakan dari pemimpin-pemimpin Daerah untuk dapat melakukan inovasi, efisiensi dan kompetisi dalam penyediaan pelayanan publik kepada masyarakat. Karenanya momentum pemilihan Kepala Daerah secara langsung dapat menjadi batu pijakan utama guna mewujudkan kondisi itu. Selain itu, keberadaan lembaga pengawas independen seperti Komisi Ombudsman akan sangat mendukung bagi upaya peningkatan penyediaan pelayanan publik yang lebih baik oleh Pemerintah Daerah selain tentu saja partisipasi secara aktif dari masyarakat serta keberadaan aturan perundang-undangan yang memadai terkait pelayanan publik dan good governance yang akan menjadi payung dalam proses penyediaan pelayanan publik tersebut.

REFERENSI
Dwiyanto, Agus dkk, Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, 2003, Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM

Haque, M. Shamsul, 1999, ”Relationship between citizenship and public administration: a reconfiguration”, International Review of Administrative Sciences, Vol. 65, page 309-325, London: SAGE Publications

Prasojo, Eko, Teguh Kurniawan & Azwar Hasan, 2004, Reformasi Birokrasi dalam Praktek: Kasus di Kabupaten Jembrana., Depok: Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota (PKPADK) FISIP UI

______________, 2004b, “Peran Kepemimpinan dalam Program Inovasi Daerah: Studi Kasus Kabupaten Jembrana”, Jurnal Bisnis & Birokrasi, Vol. XII/Nomor 3/September 2004, Depok: Departemen Ilmu Administrasi FISIP UI

______________, 2005, “Efisiensi Anggaran sebagai Faktor Kunci Keberhasilan Pelaksanaan Program Inovasi di Kabupaten Jembrana”, Jurnal Administrasi Publik, Vol. V/Nomor 2/Maret-Agustus 2005, Malang: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Brawijaya

Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, 2001, ”Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia: Temuan dari Sumatra Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan”, Laporan Penelitian, Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM

SMERU, 2002, ”Dampak Desentralisasi dan Otonomi Daerah Atas Kinerja Pelayanan Publik: Kasus Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat”, Laporan Lapangan, Jakarta: SMERU

The Asia Foundation, 2004, ”Indonesia Rapid Decentralization Appraisal (IRDA)”, 4th Report, Jakarta: The Asia Foundation

http://www.enciety.com/edm/css/article.php?a_id=28 diakses 4 Januari 2006

* Dosen Inti FISIP UI

Tulisan ini dimuat dalam Buletin "Aliansi", Media Penguatan Masyarakat Sipil, Yyayasan APPIKA , Vol. 27, No. XXXI, Januari 2006

0 Comments:

Post a Comment

<< Home